Babi hutan (Sus scrofa
vittatu)
Babi hutan merupakan jenis hama
mammalia penting pada perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya satwa ini bukanlah
merupakan penghuni tetap pada ekosistim perkebunan kelapa sawit. Kerusakan yang
ditimbulkannya pada kelapa sawit hanya merupakan efek sekunder dari
kehadirannya pada kebun sawit. Mereka adalah salah satu penghuni tetap hutan.
Habitatnya meliputi kisaran geografis yang sangat beragam, pada hampir semua
ekosistim, mulai dari padang alang-alang, semak belukar, hutan sekunder, hutan
payau, hingga hutan pegunungan.
Jenis babi
hutan yang umum dijumpai merusak tanaman kelapa sawit adalah Sus scrofa
vittatus. Jenis lain adalah Sus barbatus atau babi janggut, tetapi
jarang dijumpai (Sipayung, 1992). Kedua spesies tersebut dilaporkan dijumpai di
Sumatera dan Kalimantan. S. s. vittatus mempunyai garis putih di
moncongnya, anak-anaknya berwarna coklat bergaris-garis terang, sedangkan S.
barbatus berwarna agak muda, kepalanya lebih panjang dan berambut panjang
tegak di sekeliling kepalanya. Di Jawa dan Sulawesi dijumpai Sus verrucosus
yang berukuran lebih besar dan mempunyai taring panjang di kepalanya dan
badannya tidak berbelang (Sudharto dan Desmier de Chenon, 1997).
Babi hutan
terutama menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda atau yang baru ditanam,
karena mereka menyukai umbutnya yang lunak. Timbulnya serangan babi hutan pada
tanaman kelapa sawit tidak semata-mata karena populasinya yang tinggi di
habitatnya dalam hutan yang berdekatan, tetapi erat hubungannya dengan sifat
satwa liar ini yang rakus. Selain memakan umbut mereka juga memakan buah sawit
yang sudah membrondol di tanah, dan tandan buah di pohon yang masih terjangkau.
Dilaporkan bahwa kematian tanaman muda akibat serangan babi hutan di Aceh
diperkirakan 15,8% (Sipayung, 1992). Sebagai gambaran kerusakan tanaman kelapa
sawit yang diakibatkan serangan babi hutan di beberapa daerah pengembangan
disajikan pada Tabel 1. Selain itu, serangannya juga menyebabkan kerusakan pada
perakaran terutama terhadap akar-akar makan (feeding roots) di sekitar
piringan pohon, sehingga dapat menghambat penyerapan air dan hara dari tanah
dan mendorong timbulnya penyakit akar.
Salah satu
komponen habitat yang diperlukan oleh babi hutan adalah air dan lumpur, yang
digunakan sebagai tempat berkubang. Aktivitas berkubang tertinggi terjadi pada
jam 11.00 – 13.00, dan frekuensi aktivitas mencari makan tertinggi terjadi pada
jam 05.00 – 07.00 dan 16.00 – 18.00. Daya jangkau terjauh dari serangan babi
hutan terhadap perkebunan kelapa sawit adalah 693 m dari tepi hutan dengan rata-rata
522 m (Sipayung, 1992).
Babi hutan
jantan dewasa biasanya bergerak dan mencari makan sendiri (soliter), sedangkan
yang betina hidup bersama dengan anak-anaknya dalam kelompok 4-50 ekor. Musim
kawin ditandai dengan bergabungnya babi hutan jantan dewasa dengan kelompok
betina. Seekor babi hutan betina dapat beranak sampai 12 ekor
dengan masa bunting 110 hari. Induk babi tersebut dapat beranak lagi setelah
7-8 bulan setelah masa beranak sebelumnya (Sudharto dan Desmier de Chenon,
1997). Mereka menggunakan suaranya untuk berkomunikasi, termasuk untuk
memperingatkan adanya bahaya (alarm call) yang mengancam.