(Oryctes rhynoceros (L))
Kumbang
tanduk (Oryctes rhinoceros (L)) diklasifikasikan ke dalam ordo
Coleoptera, famili Scarabidae dan subfamili Dynastinae. Kumbang ini merupakan
hama utama yang menyerang kelapa sawit dan sangat merugikan di Indonesia,
khususnya di areal replanting yang saat ini sedang dilakukan secara
besar-besaran di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pada areal replanting,
banyak tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan sebagai
tempat berkembang biak hama ini.
Siklus Hidup
Siklus hidup kumbang tanduk
bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya. Musim kemarau
yang panjang dengan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat perkembangan
larva serta ukuran dewasa yang lebih kecil dari ukuran normal. Suhu
perkembangan larva yang sesuai adalah 27oC-29oC dengan
kelembapan relatif 85-95% (Bedford, 1980). Satu siklus hidup hama ini dari
telur sampai dewasa sekitar 6-9 bulan.
Kumbang ini mempunyai telur yang
berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 mm. Bentuk telur biasanya oval
kemudian mulai membengkak sekitar satu minggu setelah peletakan dan menetas
pada umur 8-12 hari. Stadia larva terdiri atas 3 instar, dan berlangsung dalam
waktu 82-207 hari. Larva berwarna putih kekuningan,
berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah
lingkaran dengan panjang sekitar 60-100 mm atau lebih
(Ooi, 1988). Prepupa terlihat menyerupai larva, hanya saja lebih kecil
dari larva instar terakhir dan menjadi berkerut serta aktif bergerak ketika
diganggu. Lama stadia prepupa berlangsung 8-13 hari. Pupa berwarna cokelat
kekuningan, berukuran sampai 50 mm dengan waktu 17-28 hari. Kumbang berwarna
cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang 35-50 mm dan lebar 20-23 mm
dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala (Wood, 1968). Jantan
memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina sedangkan betina mempunyai
banyak rambut pada ujung ruas terakhir abdomen dan jantan tidak (Wood, 1968).
Umur betina lebih panjang dari umur jantan.
Biologi dan Ekologi
Kumbang akan meletakkan telur pada
sisa-sisa bahan organik yang telah melapuk. Misalnya batang kelapa sawit yang
masih berdiri dan telah melapuk, rumpukan batang kelapa sawit, batang kelapa
sawit yang telah dicacah, serbuk gergaji, tunggul-tunggul karet serta tumpukan
tandan kosong kelapa sawit (Dhileepan, 1988). Adanya tanaman kacangan penutup
tanah akan menghalangi pergerakan kumbang dalam menemukan tempat berkembang
biak. Liew dan Sulaiman (1993) mengamati bahwa tanaman penutup tanah setinggi
0,6-0,8 m mengurangi perkembangbiakan kumbang tanduk.
Batang kelapa sawit yang diracun dan
masih berdiri sampai pembusukan pada sistem underplanting merupakan
tempat berkembangbiak yang paling baik bagi kumbang tanduk. Selama lebih dari 2
tahun masa dekomposisi, batang yang masih berdiri memberikan perkembangbiakan
39.000 larva perhektar dibandingkan dengan batang yang telah dicacah dan
dibakar (500 larva perhektar) (Samsudin et al., 1993).
Kerusakan Dan Pengaruhnya Di Lapangan
Kumbang O. rhinoceros
menyerang tanaman kelapa sawit yang baru ditanam di lapangan sampai berumur 2,5
tahun. Kumbang ini jarang sekali dijumpai menyerang kelapa sawit yang sudah
menghasilkan (TM). Namun demikian, dengan dilakukannya pemberian mulsa tandan
kosong kelapa sawit (TKS) yang lebih dari satu lapis, maka masalah hama ini
sekarang juga dijumpai pada areal TM.
Pada areal replanting kelapa
sawit, serangan kumbang dapat mengakibatkan tertundanya masa berproduksi sampai
satu tahun, dan tanaman yang mati dapat mencapai 25%. Masalah kumbang tanduk
saat ini semakin bertambah dengan adanya aplikasi tandan kosong kelapa sawit
pada gawangan maupun pada sistem lubang tanam besar. Aplikasi mulsa tandan
kosong sawit (TKS) yang kurang tepat dapat mengakibatkan timbulnya masalah
kumbang tanduk di areal kelapa sawit tua.
Kumbang terbang dari tempat
persembunyiannya menjelang senja sampai agak malam (sampai dengan jam 21.00
WIB), dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Dari pengalaman diketahui
bahwa kumbang banyak menyerang kelapa pada malam sebelum turun hujan.
Makanan kumbang dewasa adalah tajuk
tanaman, dengan menggerek melalui pangkal batang sampai pada titik tumbuh. Daun
yang telah membuka memperlihatkan bentuk seperti huruf V terbalik atau
karakteristik potongan serrate (Sadakhatula dan Ramachandran, 1990). Serangan
yang berkali-kali pada tanaman dapat menyebabkan kematian dan menjadi rentan
masuknya kumbang Rhyncophorus bilineatus (Coleoptera: Curculionidae)
(Sivapragasam et al., 1990), juga bakteri ataupun jamur, sehingga
terjadi pembusukan yang berkelanjutan. Dalam keadaan seperti ini tanaman
mungkin menjadi mati atau terus hidup dengan gejala pertumbuhan yang tidak
normal. Tanaman dapat mengalami gerekan beberapa kali, sehingga walaupun dapat
bertahan hidup, pertumbuhannya terhambat dan mengakibatkan saat berproduksi
menjadi terlambat.
Pengendalian
Pengendalian Biologi
Pengendalian kumbang tanduk O.
rhinoceros secara biologi menggunakan beberapa agensia hayati diantaranya
jamur Metarhizium anisopliae dan Baculovirus oryctes. Jamur M.
anisopliae merupakan jamur parasit yang telah lama digunakan untuk
mengendalikan hama O. rhinoceros. Jamur ini efektif menyebabkan kematian
pada stadia larva dengan gejala mumifikasi yang tampak 2-4 minggu setelah
aplikasi. Jamur diaplikasikan dengan menaburkan 20 g/m2 (dalam
medium jagung) pada tumpukan tandan kosong kelapa sawit dan 1 kg/batang kelapa
sawit yang telah ditumbang. Baculovirus oryctes juga efektif
mengendalikan larva maupun kumbang O. rhinoceros.
Pengendalian Kimia
Pengendalian menggunakan insektisida
kimia masih banyak dilakukan. Insektisida kimia yang dahulu efektif di lapangan
adalah organoklorin. Karena toksisisitas organoklorin yang tinggi, maka
insektisida tersebut diganti dengan karbofuran yang penggunaannya pada interval
4-6 minggu untuk mengendalikan kumbang dewasa.
Chung et al. (1993) mencatat
beberapa jenis insektisida yang digunakan untuk mengendalikan kumbang di
pembibitan maupun stadia TBM kelapa sawit. Insektisida tersebut adalah lambda
sihalothrin, sipermetrin, venvalerate, monocrotophos dan chorphyrifos yang
secara signifikan mengurangi kerusakan O. rhinoceros setelah 11 minggu.
Insektisida kimia yang paling efektif untuk mengurangi kerusakan adalah lambda
sihalothrin. Ho (1996) melaporkan bahwa dengan populasi hama yang tinggi,
karbofuran semakin lama semakin tidak efektif.
Perangkap Feromon.
Upaya terkini dalam mengendalikan
kumbang tanduk adalah penggunaan perangkap feromon. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS) saat ini telah berhasil mensintesa feromon agregat untuk menarik
kumbang jantan maupun betina. Feromon agregat iniberguna sebagai alat kendali
populasi hama dan sebagai perangkap massal. Rekomendasi untuk perangkap massal
adalah meletakkan satu perangkap untuk 2 hektar (Chung, 1997). Pada harga
komersial Rp. 60.000,- per sachet, penggunaan feromon lebih menghemat dibanding
dengan karbofuran dan manual sekitar Rp. 117.200,-/ha/tahun. Pada populasi
kumbang yang tinggi, aplikasi feromon diterapkan satu perangkap untuk satu
hektar.
Pemerangkapan kumbang O. rhinoceros
dengan menggunakan ferotrap terdiri atas satu kantong feromon sintetik (Etil-4
metil oktanoate) yang digantungkan dalam ember plastik kapasitas 12 l.
Tutup ember plastik diletakkan terbalik dan dilubangi 5 buah dengan diameter 55
mm. Pada dasar ember plastik dibuat 5 lubang dengan diameter 2 mm untuk
pembuangan air hujan. Ferotrap tersebut kemudian digantungkan pada tiang kayu
setinggi 4 m dan dipasang di dalam areal kelapa sawit. Selain ember plastik
dapat juga digunakan perangkap PVC diameter 10 cm, panjang 2 m. Satu kantong
feromon sintetik dapat digunakan selama 2-3 bulan. Setiap dua minggu dilakukan
pengumpulan kumbang yang terperangkap dan dibunuh.
Keefektifannya dapat menjadi lebih
tinggi apabila tindakan pengendalian juga dilakukan seperti:
·
Penanaman tanaman kacangan penutup tanah pada waktu replanting.
·
Pengumpulan kumbang secara manual dari lubang gerekan pada kelapa
sawit, dengan menggunakan alat kait dari kawat. Tindakan ini dilakukan tiap
bulan apabila populasi kumbang 3-5 ekor/ha, setiap 2 minggu jika populasi
kumbang mencapai 5-10 ekor, dan setiap minggu pada populasi kumbang lebih dari
10 ekor.
·
Penghancuran tempat peletakkan telur secara manual dan dilanjutkan
dengan pengumpulan larva untuk dibunuh, apabila jumlahnya masih terbatas.
·
Pemberantasan secara kimiawi dengan menaburkan insektisida butiran Karbosulfan
sebanyak (0,05-0,10 g bahan aktif per pohon, setiap 1-2 minggu) atau 3 butir
kapur barus/ pohon, setiap 1-2 kali/bulan pada pucuk kelapa sawit.
·
Larva O. rhinoceros pada mulsa TKS di areal TM dapat dikendalikan dengan
menaburkan biakan murni jamur Metarrhizium anisopliae sebanyak 20 g/m2.
Sumber
: iopri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar